Empati, yakni kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, ada pada titik tertingginya di tahun pertama kehidupan. Empati mulai hilang ketika kita menjadi sadar bahwa apa yang kita rasakan dan apa yang dirasakan orang lain tidaklah sama bahwa kita dan orang lain adalah entitas yang sama sekali terpisah.
Empati menurun drastis ketika muncul keinginan untuk lebih mempedulikan apa yang kita rasakan daripada apa yang orang lain rasakan—pada saat itulah kita belajar untuk egois. Ada orang yang kehilangan bekal empati mereka di usia remaja, dan tidak akan pernah memperolehnya kembali.
Orang-orang yang kurang berempati akan sulit untuk dilihat sebagai orang yang rendah hati di mata orang lain. Karena jika tidak mengindahkan perasaan orang lain, mereka dicap tidak sensitif, tidak peduli, egois atau hanya mementingkan diri sendiri—walaupun sebenarnya mereka tidak bermaksud demikian.
Coba perhatikan orang-orang di sekitar. Dapatkah kita membedakan antara orang yang menyebalkan namun tidak sadar karena kurang berempati dengan orang yang melakukannya dengan sengaja?
Namun, empati saja tidaklah cukup.
Untuk menangani sisi manusia dalam pekerjaan, harus ada kemauan untuk menghormati apa yang orang lain ketahui, pikirkan dan rasakan. Dengan kata lain, dibutuhkan sikap yang rendah hati. Dari mana sikap ini muncul?
Santo Yohanes Climacus pernah menulis: “Harga diri yang terlalu tinggi membuat kita lupa akan dosa-dosa kita. Tapi dengan mengingatnya, akan membawa kita kembali pada kerendahan hati,”.
Kerendahan hati datang dari mengingat kembali kegagalan-kegagalan, kegagalan dan ketidaksempurnaan kita, dan menyadari bahwa semua manusia, tanpa kecuali, mempunyai kekurangan dan kelebihan.
Albert Einstein yang menyatakan: “Menjadi teladan bukanlah cara yang paling utama dalam memimpin, menjadi teladan adalah satu-satunya cara.”
Berintegritas dalam memimpin dengan tidak memaksakan aturan tertentu pada orang lain, bilamana aturan tersebut tidak dapat ia terapkan pada dirinya sendiri.
Kita dapat menjadi lebih efektif dalam memimpin orang lain dengan integritas jika kita mempunyai kerendahan hati yang cukup untuk menempatkan diri kita dalam posisi yang setara dengan mereka, yakni aturan yang berlaku untuk bawahan juga berlaku untuk kita. Karena kurangnya kerendahan hati, ada beberapa pemimpin yang melihat dirinya berhak menyalahi aturan dan mempunyai sikap: “Do as I say, but don’t do as I do”.